Kemerdekaan Sejati, Air Mata Haru di Balik Jeruji

Cianjur131 Dilihat
banner 468x60

CIANJUR – Hari Minggu, 17 Agustus 2025, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, adalah puncak perayaan kemerdekaan. Namun, di balik dinding kokoh Lapas Kelas II B Cianjur, makna kemerdekaan terasa jauh lebih personal dan mendalam. Bagi 12 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), tanggal ini menjadi penanda awal kehidupan baru, sebuah kebebasan yang telah lama mereka rindukan.

Di antara ratusan narapidana yang memenuhi lapangan, terlihat wajah-wajah penuh harap. Nama-nama mereka dipanggil satu per satu, bukan untuk menjalani hukuman, melainkan untuk menerima anugerah, remisi umum dan remisi dasawarsa. Momen itu adalah puncak penantian panjang, di mana setiap detik terasa seperti keabadian. Lima WBP menerima Remisi Umum II (RU II) dan tujuh orang lainnya menerima Remisi Dasawarsa II (RD II), sebuah pemotongan masa pidana yang membuat mereka bisa langsung pulang.

banner 336x280

Tentu, momen pembebasan ini tidak hanya milik mereka yang dibebaskan. Ada keluarga, orang tua, istri, dan anak-anak yang telah sabar menunggu. Sani (bukan nama sebenarnya), salah satu WBP yang bebas hari itu, tidak bisa menahan air matanya saat melihat sang istri dan kedua anaknya berdiri di luar gerbang lapas. Jarak beberapa meter terasa seperti jurang pemisah, memisahkan mereka dari pelukan yang telah lama tertunda.

“Saya sudah janji sama anak-anak, hari ini saya pulang,” bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan haru. Sani telah menjalani hukuman selama dua tahun. Selama itu, ia hanya bisa mendengar suara anaknya dari balik telepon, sebuah komunikasi yang terasa hampa tanpa sentuhan fisik.

Momen ia melangkah keluar dari gerbang lapas adalah momen paling sakral. Kedua anaknya langsung berlari memeluknya, isak tangis bercampur tawa bahagia.

“Ayah pulang, Ayah pulang,” teriak mereka. Pelukan yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan kini menjadi nyata.

Kisah serupa dialami oleh Aceng juga nama samaran. Sebelum bebas, Aceng adalah salah satu WBP yang aktif dalam kegiatan pembinaan di lapas. Ia adalah seorang pelukis, karyanya bahkan sempat diberikan sebagai cinderamata untuk Bupati dan Wakil Bupati Cianjur.

“Melukis itu cara saya berkomunikasi. Di dalam sini, melukis membuat saya merasa hidup,” ujarnya.

Kebebasan bagi Aceng bukan hanya sekadar lepas dari jeruji besi, tetapi juga sebuah kesempatan untuk menggunakan keterampilannya demi masa depan yang lebih baik. Ia berjanji akan membuka usaha kecil-kecilan di kampungnya.

“Saya tidak mau kembali ke masa lalu. Saya ingin tunjukkan ke keluarga saya, saya bisa berubah,” katanya.

Kisah Sani dan Aceng hanyalah dua dari sekian banyak cerita di balik momen pembebasan ini. Remisi, seperti yang disampaikan oleh Kasi Binadik dan Giatja Lapas Kelas II B Cianjur, Dani Diyaulhaq, bukan sekadar potongan masa hukuman. Remisi adalah pengakuan negara atas niat baik WBP untuk berubah, sebuah jembatan menuju masa depan yang lebih cerah. Pemberian ini menjadi bukti bahwa di balik setiap kesalahan, selalu ada kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Di hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80, 12 WBP di Lapas Cianjur tidak hanya merayakan kemerdekaan bangsa. Mereka juga merayakan kemerdekaan diri, sebuah kesempatan kedua untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kembali ke pelukan keluarga yang telah lama menanti.

Momen itu mengajarkan kita bahwa harapan dan pengampunan selalu ada, bahkan di tempat yang paling tidak terduga sekalipun.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *