Kepemimpinan Desa Tertahan Regulasi, Potret Kekosongan Kades di Cianjur dan Taruhannya bagi Warga

Berita, Cianjur68 Dilihat
banner 468x60

detak publik. Id— Di balik kehidupan desa yang kerap terlihat tenang, Kabupaten Cianjur tengah menghadapi masalah serius, puluhan desa masih dipimpin oleh penjabat (Pj) kepala desa, bukan kades definitif. Kekosongan ini bukan sekadar urusan administrasi, namun berpotensi menggerus kualitas pelayanan publik, memicu ketidakstabilan sosial, dan membuka ruang ketidakpastian dalam pembangunan desa.

Data Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) mencatat, sedikitnya 15 desa kini masih dikomandoi Pj. Alasannya beragam, dari kepala desa yang meninggal dunia, terjerat kasus hukum, hingga mengundurkan diri sebelum masa jabatan berakhir.

banner 336x280

“Iya, ada sekitar 15 desa yang saat ini masih dijabat Pj. Tapi ada satu atau dua Pj yang berganti, seperti di Desa Cikadu, Kecamatan Cikadu, dan Desa Cidamar, Kecamatan Cidaun,” kata Kepala Bidang Penataan dan Kerja Sama Desa DPMD Cianjur, Dendy Kristanto saat ditemui di kantornya, Jum’at (15/8/2025).

Secara aturan, pengisian jabatan kosong seharusnya dilakukan melalui Pemilihan Kepala Desa Pengganti Antarwaktu (PAW). Namun, pelaksanaannya kini terhenti akibat belum adanya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

“Dari hasil konsultasi dan surat edaran yang ada, sebelum peraturan pelaksananya terbit, Pilkades PAW belum boleh dilaksanakan,” jelas Dendy.

Hampir setahun sejak UU tersebut disahkan, Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur teknis pilkades tak kunjung keluar. Sementara itu, Cianjur sudah bersiap menggelar pilkades serentak tahun depan, namun tanpa aturan turunan yang jelas, desa-desa yang kosong jabatan kadesnya akan terus menggantung.

Kekosongan jabatan kepala desa tak hanya mengganggu kesinambungan program, tetapi juga melemahkan legitimasi pemerintahan desa. Pj kades yang umumnya berasal dari aparatur sipil negara (ASN) ditunjuk oleh bupati, namun tidak memiliki mandat politik langsung dari warga. Hal ini membuatnya lebih berhati-hati mengambil keputusan strategis, terutama terkait pembangunan dan pengelolaan anggaran desa.

“Pj itu sifatnya sementara, jadi banyak yang fokus pada administrasi rutin. Keputusan besar cenderung ditahan agar tidak menimbulkan polemik,” ungkap salah satu perangkat desa di wilayah selatan Cianjur yang enggan disebut namanya.

Konsekuensinya, sejumlah proyek infrastruktur, program pemberdayaan ekonomi, dan inisiatif pemberantasan kemiskinan desa tertunda. Warga di beberapa desa mengaku kecewa karena janji atau rencana dari kepemimpinan sebelumnya tidak dilanjutkan secara optimal.

Kondisi ini turut memicu gejolak di akar rumput. Berdasarkan data DPMD, ada 11 kepala desa definitif yang saat ini sedang “digoyang” oleh masyarakat melalui aksi protes dan pelaporan resmi.

“Fenomena ini bagian dari transisi kepemimpinan. Warga berharap hal-hal yang belum selesai di era kades sebelumnya ditindaklanjuti oleh pemimpin baru. Namun, ekspektasi itu kadang tidak sejalan dengan proses yang ada,” ujar Dendy.

Tak jarang, masalah ini diperburuk oleh lemahnya komunikasi antara pemerintah desa dan masyarakat. “Kalau fungsi lembaga desa berjalan dengan baik, termasuk Badan Permusyawaratan Desa sebagai wadah aspirasi, saya yakin riak-riak ini bisa diminimalisasi,” tambahnya.

Selama regulasi belum terbit, desa-desa yang kosong jabatan kadesnya akan terus bergantung pada Pj. Di satu sisi, mereka menjaga agar roda pemerintahan tetap berputar, di sisi lain, keterbatasan kewenangan dan mandat politik membuat desa berjalan di “mode darurat” yang rentan terhadap stagnasi pembangunan dan perpecahan sosial.

Bagi warga, menunggu aturan dari pusat berarti menunggu nasib kepemimpinan mereka ditentukan. Dan selama itu pula, pelayanan publik, program pembangunan, hingga stabilitas sosial desa berada di persimpangan.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *